Kamis, 09 Agustus 2012

Mari Kita Ikhlas

Kita sering salah menyikapi harta kita yang sebenarnya milik kita. Banyak orang menumpuk hartanya di bank, investasi saham, membeli tanah, rumah, mobil dan lain sebagainya. Apakah benar itu milik kita yang sebenarnya?

Untuk menjawabnya marilah kita belajar dengan kisah Ibu Mawar yang sangat sederhana ini…

Ibu Mawar adalah wanita yang pekerjaannya mengumpullkan sampah plastik dari kemasan. Cuma untuk memperolehnya, dia harus memungutnya di sungai. Wanita paruh baya, kurus, rambutnya diikat ke belakang, dan banyak warna putihnya itu berumur 54 tahun. Inilah petikan wawancara tim sebuah acara TV dengan Ibu Mawar.

“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam. Ada apa ya Pak?” tanya Ibu Mawar.
“Saya dari tabloid An Nuur, mendapat cerita dari seseorang untuk menemui Ibu. Kami mau wawancara sebentar, boleh Bu…?” saya menjelaskan dan mengunakan ‘tabloid An Nuur’ sebagai ‘penyamaran’.
“Oh.. boleh, silahkan masuk.”

Ibu Mawar masuk lewat pintu belakang. Saya menunggu di depan. Tak beberapa lama, lampu listrik di ruang tengahnya nyala, dan pintu depan pun dibuka.
“Silahkan masuk…”
Saya masuk ke dalam ‘ruang tamu’ yang diisi oleh dua kursi kayu yang sudah reot. Tempat dudukannya busa yang sudah bolong di bagian pinggir. Rupanya Ibu Mawar hanya menyalakan lampu listrik jika ada tamu saja. Kalau rumahnya ditinggalkan, listrik biasa dimatikan. Berhemat katanya.

“Sebentar ya Pak, saya ambil air minum dulu” kata Ibu Mawar. Yang dimaksud Ibu Mawar dengan ambil air minum adalah menyalakan tungku dengan kayu bakar dan diatasnya ada sebuah panci yang diisi air. Ibu Mawar harus memasak air dulu untuk menyediakan air minum bagi tamunya.

“Iya Bu.. ngga usah repot-repot.” kata saya nggak enak.

Kami pun mulai ngobrol, atau ‘wawancara’. Ibu Mawar ini usianya 54 tahun, pekerjaan utamanya mengumpulkan plastik dan menjualnya seharga Rp 7.000 per kilo. Ketika saya tanya aktivitasnya selain mencari plastik…
“Mengaji…” katanya.
“Hari apa aja Bu…?” tanya saya.
“Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu…” jawabnya.
Hari Jum’at dan Minggu adalah hari untuk menemani Ibunya yang dirawat di rumahnya.

Oh.. jadi mengaji rupanya yang jadi aktivitas paling banyak. Ternyata dalam pengajian itu, biasanya ibu-ibu pengajian yang pasti mendapat minuman kemasan, secara sukarela dan otomatis akan mengumpulkan gelas kemasan air mineral dalam plastik dan menjadi oleh-oleh untuk Ibu Mawar. Hmm, sambil menyelam minum air rupanya. Sambil mengaji dapat plastik.

Saya tanya lagi, “Paling jauh pengajiannya dimana Bu?”
“Di dekat terminal Bubulak, ada masjid taklim tiap Sabtu. Saya selalu hadir. Ustadznya bagus sih…” kata Ibu Mawar.
“Ke sana naik mobil dong..?” tanya saya.
“Saya jalan kaki” kata Ibu Mawar.
“Kok jalan kaki…?” tanya saya penasaran.
Penghasilan Ibu Mawar sekitar Rp 7.000 sehari. Saya mau tahu alokasi uang itu untuk kehidupan sehari-harinya. Bingung juga bagaimana bisa hidup dengan uang Rp 7.000 sehari.

“Iya.. mas, saya jalan kaki dari sini. Ada jalan pintas, walaupun harus lewat sawah dan jalan kecil. Kalau saya jalan
kaki, kan saya punya sisa uang Rp 2.000 yang harusnya buat ongkos, nah itu saya sisihkan untuk sedekah ke ustadz…”, ibu Mawar menjelaskan.

“Maksudnya, uang Rp 2.000 itu Ibu kasih ke pak Ustadz?” saya melongo. Kan Ibu nggak punya uang, gumam saya dalam hati.

“Iya, yang Rp 2.000 saya kasih ke Pak Ustadz… buat sedekah.” kata Ibu Mawar, datar.
“Kenapa Bu, kok dikasihin?” saya masih bengong.
“Soalnya, kalau saya sedekahkan, uang Rp 2.000 itu udah pasti milik saya di akhirat, dicatet sama Allah…. Kalau uang sisa yang saya miliki bisa aja rezeki orang lain, mungkin rezeki tukang beras, tukang gula, tukang minyak tanah….” Ibu Mawar menjelaskan, kedengarannya jadi seperti pakar pengelolaan keuangan keluarga yang hebat.

Dzig!
Saya seperti ditonjok Cris John. Telak!
Ada rambut yang serempak berdiri di tengkuk dan tangan saya. Saya merinding!

Ibu Mawar tidak tahu kalau dia berhadapan dengan saya, seorang sarjana ekonomi yang seumur-umur belum pernah menemukan teori pengelolaan keuangan seperti itu.

Jadi, Ibu Mawar menyisihkan uangnya, Rp 2.000 dari Rp 7.000 sehari untuk disedekahkan kepada sebuah majelis karena berpikiran bahwa itulah yang akan menjadi haknya di akhirat kelak?

‘Wawancara’ yang sebenarnya jadi-jadian itu pun segera berakhir. Saya pamit dan menyampaikan bahwa kalau sudah dimuat, saya akan menemui Ibu Mawar kembali, mungkin minggu depan.

Saya sebenarnya on mission, mencari orang-orang seperti Ibu Mawar yang cerita hidupnya bisa membuat ‘merinding’... Saya sudah menemukan kekuatan di balik kesederhanaan. Keteguhan yang menghasilkan kesabaran. Ibu Mawar terpilih untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa dan tak terduga.

Minggu depannya, saya datang kembali ke Ibu Mawar, kali ini bersama dengan tim kru televisi dan seorang presenter kondang yang mengenakan tuxedo, topi tinggi, wajahnya dihiasai janggut palsu, mengenakan kaca mata hitam dan selalu membawa tongkat.

Program reality show ini yang telah memilih Ibu Mawar sebagai ‘bintang’ di salah satu episode yang menurut saya salah satu yang terbaik. Saya mengetahuinya, karena di balik kacamata hitamnya, sang presenter seringkali tidak kuasa menahan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca. Tidak terlihat di televisi, tapi saya merasakannya.

Ibu Mawar mendapatkan ganti dari Rp 2000,00 yang disedekahkannya dengan Rp 10 juta dari acara. Entah berapa yang Allah akan ganti di akhirat kelak.

Ibu Mawar membeli beras, kulkas, makanan, dll untuk melengkapi rumahnya. Entah apa yang dibelikan Allah untuk rumah indahnya di akhirat kelak.

Saudara-saudariku, hidup ini fana…sementara…

Kita diberi waktu di dunia ini untuk menyiapkan KEHHIDUPAN YANG SEBENARNYA di akhirat. Barangsiapa yang mengumpulkan hartanya hanya untuk KEDUNIAAN maka itu semua PASTI akan DITINGGALKAN. Tetapi barangsiapa mengumpulkan hartanya untuk NEGERI AKHIRAT, maka kita PASTI akan MENDATANGINYA. Sudahkah kita menyiapkan HARTA KITA YANG SEBENARNYA di akhirat?

“Dan carilah dari apa saja yang telah Allah berikan kepadamu untuk mencapai kebahagiaan di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. 28:77)

Bahkan apa yang kita infakkan akan dilipatgandakan oleh Allah…

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. 2:261)

Bayangkan, dibalas dengan 700 kali lipat !!!

Rumus matematika mengatakan 100 – 10 = 90, tetapi rumus sedekah yang dibuat oleh Allah ta’ala adalah: 100-90 = 7090 dengan perhitungan:

100 kita dapat rizki dari Allah, 10 disedekahkan/diinfakkan maka 10 dilipatgandakan 700 x menjadi = 7000 sehingga 100-10 = 90 + (10×700)= 7090!

Ada yang bertanya, jadi kalau saya sedekahkan Rp 10.000, maka saya akan mendapatkan kembali Rp 7000.000,00? Semudah itu? Ya! Silakan buktikan wahai saudara-saudariku.

Yang perlu diingat adalah : IKHLAS.. IKHLAS.. dan IKHLAS..
Cuma kadang kita mengetahui RIZKI hanya diukur dengan uang…?
Tidak wahai saudara-saudariku….

Kadang matematika Tuhan ini tidak kasat mata. Tidak melulu uang diganti dengan uang. Tetapi Allah Yang Maha Suci dengan Kesempurnaan-Nya juga Maha Mengetahui mana yang terbaik dan apa yang sedang dibutuhkan oleh hamba-Nya saat itu. Bisa jadi diganti dengan keselamatan di jalan, bertahun-tahun nggak pernah sakit, mudah cari kerja, kemudahan berusaha, kebahagiaan keluarga, anak yang berbakti, ditemukan jodohnya dan lain sebagainya.

Semoga kita senantiasa IKHLAS.. IKHLAS.. dan IKHLAS 

( egadioniputri.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar