Minggu, 30 September 2012

Misteri Rezeki

 
Barangkali, ini sudah menjadi garis hidup dan “takdir” yang tidak akan pernah bisa saya hindari: selalu berhadapan dengan orang-orang yang memiliki aneka problematika hidup yang dilatarbelakangi oleh tidak mudahnya memahami konsep rezeki.
Banyak orang akan menyatakan dirinya sadar bahwa rezeki adalah urusan Tuhan. Begitupun bahwa Tuhan tidak akan pernah lupa memberi rezeki kepada seluruh makhluq-Nya. Tugas manusia hanyalah berusaha seoptimal mungkin untuk menjemputnya.
Namun, mempertahankan pengetahuan dan keyakinan itu dalam praktek hidup sehari-hari, nampaknya, tidak selalu berhasil dilakukan oleh semua orang. Buktinya, disambangi oleh orang-orang yang merasa gagal memahami misteri rezeki menjadi makanan saya sehari-hari. Begitu seringnya saya didatangi tamu dari kelompok ini sampai-sampai saya hafal bagaimana ekspresi wajah yang akan mereka perlihatkan di awal pertemuan…
Suasana “sempit rezeki” pada diri mereka, yang merasa sudah optimal mengerahkan segala kemampuan untuk mencarinya, biasanya disebabkan oleh cara pandang ala “kaca mata” kuda yang diterapkan: rezeki dipahami sebagai sesuatu yang dapat diwujudkan langsung dalam bentuk rupiah atau sesuatu yang memang secara langsung kita butuhkan.
Saat kita sedang lapar dan tidak memiliki selembar uang pun di kantong yang bisa kita gunakan membeli nasi, maka menemukan rongsokan barang yang bisa dijual adalah rezeki. Namun, jika yang kita dapatkan adalah “kemampuan” untuk menanggung “masa panjang menahan lapar” secara tidak biasa, apapun bentuknya, maka itu bukanlah rezeki. Mendapatkan uang untuk melunasi hutang adalah rezeki. Tapi, mendapatkan masa tenggang pembayaran hutang atau bahkan pembebasan hutang tidak kita sebut sebagai rezeki.
Seringkali, tanpa sadar, kita menetapkan secara sepihak dengan cara apa rezeki kita seharusnya datang. Kita menyesalkan kenapa pemilik toko tempat kita bekerja hanya memberi gaji Rp. 20.000,- per hari (sesuatu yang, misalnya, sudah kita ketahui sebelum kita memutuskan bekerja dengannya) sehingga kita merasa tidak mampu membiaya pendidikan anak kita. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, anak kita justru sedang “menikmati” rezeki lain: pembebasan biaya pendidikan. Rezeki yang sedang dinikmati anak kita itu tidak kita hargai sebagai rezeki kita sendiri. Rezeki anak tidak selalu datang melalui tangan orang tuanya.
Untuk contoh kongkret, sebutlah namanya Ramdan. Ia menitipkan anaknya belajar di sebuah pesantren. Tidak sekalipun kewajibannya membayar iuran pendidikan dan iuran makan anaknya ditunaikan karena alasan penghasilan yang minim. Padahal, pesantren itu tetap saja menyediakan segala kebutuhan anaknya.
Saat saya tanya apakah ia memiliki barang berharga di rumahnya, ia menjawab tidak. Namun, buru-buru ia meralat jawabannya itu dengan menyatakan: di rumahnya tidak ada apapun selain kulkas, televisi, dan dua handphone. Satu di tangannya dan satu lagi di tangan istrinya. Saat saya tanya apakah istrinya menyimpan perhiasan, ia menjawab tidak, kecuali kalung dan cincin emas yang melekat di tubuh istrinya. Saat saya tanya pernahkah ia datang ke pesantren tempat anaknya belajar itu untuk sekedar meminta maaf, ia menjawab tidak. Alasannya malu. Saat saya tanya, kenapa tidak ia bayar saja seluruh kewajibannya dengan rasa malu yang jelas-jelas masih dimilikinya itu, pria kurus itu hanya terdiam.
Saya akhiri obrolan dengan pria itu dengan kalimat pendek: rezeki untuk anaknya ternyata banyak. Namun, orang tua malah melakukan sesuatu yang membuat pintu rezeki anaknya itu tertutup.
Ada banyak contoh lain tentang orang-orang di sekitar kita yang masih menggunakan “kaca mata kuda” itu dalam memandang misteri rezeki.
Terhadap orang-orang yang sudah patah itu, hanya rumus sederhana yang selalu mampu saya berikan: mintalah kelancaran rezeki kepada Sang Pengaturnya, Allah Yang Maha Memiliki Segala Sesuatu. Namun, jangan pernah meminta dengan cara apa Dia harus mengatur kucuran rezeki kita. Jangan pula kita pernah meminta dalam bentuk apa rezeki kita itu harus diwujudkan-Nya. Bekerja sajalah seoptimal mungkin apapun juga pekerjaannya selama itu halal. Buang rasa enggan, malu, dan rendah diri. Lalu, bukalah mata dan lihat ke sekeliling. Alangkah lebarnya pintu rezeki yang dibentangkan-Nya untuk kita… Semoga.

@http://pengelanasemesta.blogdetik.com/2009/07/05/misteri-rezeki/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar