dakwatuna.com – Siapa Ya Jodohku? - Ada yang
resah, bilangan tahun makin bertambah pada usia. Namun tak juga sampai pada
masa untuk memesan undangan walimah, lalu menyebarkannya pada sahabat, tetangga
dan saudara dengan suka cita.
Ada yang mulai gelisah, saat teman-teman
seangkatan, bahkan adik kelas mulai berfoto dengan anak-anaknya, sudah dua,
tiga bahkan berlima, dengan senyum yang bahagia. Lalu hati pun bertanya, kapan
giliran saya?
Ada yang mulai meragukan kesabarannya sendiri
untuk bertahan. Lalu perlahan-lahan mengubah penampilan, melobi karakter
kebaikan yang dulu disyaratkan untuk calon pendamping. Ada yang mulai melunak,
tak lagi memilih-milih karakter keimanan dan kebaikan yang dulu disyaratkan
sebagai calon qawwamnya dalam rumah tangga. Akhirnya berakhir pada ucapan, “wis
sopo wae lah sing tekko” (sudah, siapa saja lah yang datang).ada yang mulai
ragu bahwa dengan tetap menjaga keimanan dan kesabarannya, ia akan mendapatkan
jodoh yang layak di mata Allah.
Ada ratusan kali, mungkin ribuan bahkan jutaan
kali berdoa agar didekatkan jodoh yang baik dan tepat untuk nya, namun tak
kunjung dikabulkan oleh Allah. Lalu akhirnya marah, perlahan meragukan Maha
Rahmannya Allah. Akhirnya tak lagi khusyuk meminta, bahkan berhenti berharap
dan berdoa.
Ada yang akhirnya menyambut siapa saja dengan
tangan terbuka, setiap sms yang membuat hatinya berbunga, mengiyakan tawaran
makan malam, dan jalan-jalan yang datang padanya. Menjajaki setiap orang yang
dirasa ‘potensial’ menjadi pendamping hidupnya. Terus menjalani ‘petualangan
cinta’ sampai ketemu yang paling cocok dan berani melamarnya. “Siapa tahu
jodoh”, begitu kata hatinya. Keyakinannya menjadikan dia seperti pembeli
sepatu, berganti-ganti sampai model, harga dan ukurannya pas di kaki.
Jodohku: Luar biasa hingga kita bertemu
Orang yang akhirnya menjadi suami istri, suatu
saat akan menyadari betapa luar biasanya ‘garis hidup’ yang dibuat Allah hingga
mempertemukan mereka berdua. Sampai pada saya beberapa kisah, yang membuat saya
akhirnya berkata “Subhanallah, Maha Suci Allah”. Baru menyadari makna kata “wa
min aayaatihii” pada Ar-Rum 21: ayat yang banyak dinukil pada kartu undangan
walimah. Mari kita renungkan lagi “Dan di antara tanda-tanda kekuasanNya ialah
Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa
kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir)”
Sampai pada saya beberapa kisah nyata tentang
teman, kerabat dan beberapa kenalan:
1. Saya memanggilnya bu Aisy, guru TK saya.
Memakai busana muslimah ke mana saja sejak masih muda. Selalu tersenyum ramah
dan mengingat nama kami, muridnya. Lama tak bertemu, bahkan sampai saya kuliah,
beliau juga belum menikah. Baru ketika saya hampir lulus kuliah, ibu yang
pernah menjadi teman sepengajiannya itu akhirnya mengabarkan berita walimah bu
Aisy. Mungkin usianya ketika menikah itu sudah lebih 50 tahun, masih ‘gadis’
insya Allah. Seorang ustadz dari sebuah organisasi keislaman terkemuka,
melamarnya. Duda dengan anak-anak dan cucu yang shalih-shalihah insya
Allah. Ketika lebaran tiba, saya melihat
ruang tamunya bertambah ramai: ikhwan-akhwat beserta cucu-cucu yang lucu kini
meramaikan rumahnya, membuat pelangi di hatinya. Puluhan tahun kesabaran yang
berbuah indah.
2. Ini cerita teman dari teman sekamar saya.
Tetangganya menikah, ramai tamu menghadiri undangannya. Mereka berdua baru saja
melaksanakan ijab-kabul, langsung duduk berdua di pelaminan menyalami tamu
undangan. Belum sempat masuk kamar untuk berdua menikmati kehalalan suami
istri. Tiba-tiba sang mempelai lelaki berkata pada istrinya:”dadaku sakit dek”,
lalu sang istri memapahnya duduk di kursi pelaminan. Beberapa menit kemudian,
mempelai lelaki itu meninggal di kursi pelaminannya. Masih memakai baju
pengantinnya.
3. Menonton sebuah program bincang-bincang
keislaman di sebuah televisi swasta, dihadirkan sepasang suami istri yang
perbedaan usia keduanya 20 tahun lebih. Otak saya masih loading, memastikan
beberapa fakta: ketika sang lelaki berumur dua puluh tahun lebih (sekiranya ia
sekolah terus, maka kira-kira sudah lulus kuliah): ketika itu ‘jodohnya’ baru
lahir ke dunia. Ya lahir sebagai seorang bayi, lalu baru dua puluh tahun
kemudian mereka menikah.
4. Ini cerita dari adik kelas saya, bapak-ibunya
berasal dari desa yang berbeda di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Tapi mereka
berdua memutuskan menikah, justru ketika kedua keduanya dipertemukan Allah saat
merantau untuk bekerja di Kalimantan. Jodoh yang ternyata dekat, tapi Allah
(mungkin) menginginkan mereka melakukan perjalanan ribuan kilometer jauhnya,
hingga sampai pada koordinat tempat mereka bertemu, dan waktu yang tepat untuk
menikah. Ada pula yang bapaknya lahir dan besar di Kalimantan, Ibunya lahir dan
besar di Sumatra, tapi dipertemukan dan memutuskan menikah saat masing-masing
tinggal sementara waktu di Pulau Jawa. Ya, masing-masing menempuh jalan
panjang, mengambil banyak keputusan penting sampai akhirnya memutuskan untuk
menikah. Ya keputusan penting itu bisa berupa; mau sekolah di mana, diterima
kuliah di jurusan apa, di kota mana, bekerja di mana, pindah bekerja di mana,
berteman dengan siapa dan seterusnya.
5. kita mungkin juga pernah tahu lewat media
massa, ada seorang artis dengan tubuh (maaf) ‘kerdil’, akhirnya menikah dengan
perempuan bertubuh normal, cantik dan akhirnya mereka menikah dan punya anak.
Kita juga mungkin kadang terheran-heran, dengan ‘rumus jodoh’ ketika bertemu
dengan seorang yang sangat cantik dan memiliki suami yang ‘sangat biasa saja’,
atau sebaliknya dalam pandangan kita.
Jika ditambahkan akan semakin panjang daftar
kisahnya. Dengan berbagai nama, waktu, tempat dan lakon yang berbeda-beda. Tapi
setidaknya dari berbagai kisah yang dekat, dan terjadi di sekitar kita bisa
berpikir, merenungkan dan mengambil kesimpulan-kesimpulan.
Kesimpulan-kesimpulan yang sebenarnya (semua
orang) Tahu!
Jodoh dan berjodoh, adalah bagian dari Keputusan
Allah, penetapan Allah atas manusia. Urusan jodoh dan berjodoh, bukan sebuah urusan
kecil dan main-main, karena Allah tak pernah main-main dalam menciptakan
manusia, menentukan rezeki, dan perjalanan hidup hingga matinya manusia. Allah
tak sedang ‘mengocok lotre’ dan mengundi seperti arisan ketika menentukan jodoh
seseorang. Maka jika kita memiliki harapan tentang calon pendamping hidup kita,
menginginkan agar kita segera dipertemukan dengan jodoh kita, maka mintalah
pada Allah! Bicaralah pada Allah! Mendekatlah pada Allah! Bulatkan, kuatkan,
kencangkan keyakinan kita pada Allah. Apa yang tidak mungkin bagi kita, adalah
sangat mudah bagi Allah.
Justru karena kita tidak tahu siapa jodoh kita,
kapan bertemunya, bagaimana akhir kisahnya di dunia dan akhirat: maka hidup
kita menjadi lebih indah, berwarna dan bermakna. Karena kita akan menjalani
kemanusiaan kita dengan tetap menjadi hamba Allah. Menikmati indahnya berjuang,
menikmati kesungguh-sungguhan ikhtiar, menikmati indahnya meminta pada Allah,
menikmati indahnya memohon pertolongan pada Allah, menikmati indahnya bersabar,
menikmati ‘kejutan’-kejutan yang Allah hadirkan dalam kehidupan kita
Kita tidak bisa mengajukan proposal pada Allah.
Kita tidak bisa memaksa Allah: pokoknya dia ya Allah, maunya kau dia yang jadi
jodohku ya Allah. Kita tidak bisa menguasai dalamnya hati manusia, kita tak
bisa membatasi akal pikiran manusia. Ya karena kita tidak berkuasa atas
kehidupan dan kematian manusia, atas berbolak-baliknya hati manusia: karena itu
kita tak boleh melabuhkan cinta terbesar kita pada manusia. Kita labuhkan saja
cinta terbesar kita pada Allah, yang dengan kecintaan itu lalu Allah melabuhkan
cinta manusia yang bertaqwa dalam hati kita. Sehingga taqwa itu yang membuat
kita berjodoh dengan orang yang bisa menumbuhsuburkan cinta kita pada Allah.
Karena taqwa yang dirajut selama pernikahan yang barakah itu, mudah-mudahan
kita berjodoh hingga ke surga. Bukankah ini lebih indah?
Sungguh jodoh tidak berjalan linier di atas
garis kecantikan, ketampanan, kekayaan, kedekatan geografis. “Rumus jodoh’
bukan ditentukan oleh hukum kepantasan manusia. Karena manusia hanya tahu
permukaannya, berpikir dalam kesempitan ilmunya, memutuskan dalam pengaruh hawa
nafsunya. ‘Rumus jodoh’ semata-mata kepunyaan Allah. Karena itu, sebagai hamba
kita hanya mampu menerima keputusan Allah. Menyiapkan diri untuk menerima
apapun keputusan Allah. Menyiapkan seluas-luas kesabaran, keikhlasan,
sebesar-besar keimanan untuk menerima ‘jatah jodoh’ yang berupa pendamping
hidup, rezeki, dan lainnya.
Ya, menunggulah dalam kesibukan memperbaiki
diri. Menunggulah dalam kesibukan beramal shalih, persubur silaturahim dan
mendoakan saudara seiman. Kita tidak bisa mempersiapkan orang yang akan menjadi
jodoh kita. Kita tidak punya kendali untuk mengatur orang yang ‘akan jadi jodoh
kita’. Kita hanya bisa mempersiapkan diri kita. Membekali diri dengan segala
kemampuan, keterampilan, sikap hati untuk menjalankan peran-peran dalam
pernikahan. Ketika saat itu tiba, ijab qabul sah, seketika itu seperangkat
peran diserahkan di pundak kita. Allah menyaksikan! Seketika itu kita akan
menjadi istri/suami, menantu, ipar, anggota masyarakat baru. Dan seketika itu
pula, tak cukup lagi waktu mempersiapkan diri. Ya, pernikahan bukan awal, jadi
jangan berpikir untuk baru belajar, baru berubah setelah menikah.
Hidup itu adalah seni menerima, bukan semata-mata
pasrah. Tapi penerimaan yang membuat kita tetap berjuang untuk mendapatkan
ridha Allah. Karena apapun yang kita terima dari Allah, semuanya adalah
pemberian, harta adalah pemberian, pendamping hidup adalah pemberian, ilmu,
anak-anak, kasih sayang, cinta dan semua yang kita miliki hakikatnya adalah
pemberian Allah. Semuanya adalah ujian yang mengantarkan kita pada perjuangan
mendapatkan keridhaan Allah. Menerima dan bersyukur adalah kunci bahagia, bukan
berburuk sangka dan berandai-andai atas apa yang belum diberikan Allah.
“Dan apa saja yang diberikan kepadamu, maka itu
adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah
adalah lebih baik dan lebih kekal, tidakkah kamu mengerti” (QS. al-Qashash: 60)
Menikah bukan akhir, bukan awal, ia setengah
perjuangan. Pernikahan berarti peran baru, tanggungjawab baru, tantangan baru:
bagian dari daftar yang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban dari kita
di yaumil akhir.
Tentang berjodoh itu, adalah tentang waktu,
tentang tempat, tentang masa. Dan yang kita sebutkan tadi semua ada dalam
genggaman Allah. Bukankah dalam surat al-ashr Allah bersumpah dengan waktu.
“Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan
saling menasihati untuk kesabaran”. Ya, agar tak bosan, resah dan merugi saat
menanti saat walimah tiba, sibuklah memperbaiki iman, amal dan tetap setia
dalam kebenaran dan kesabaran.
Menikah dan mendapat pendamping hidup itu tidak
pasti, ada banyak orang yang meninggal ketika masih bayi atau remaja. Tapi Mati
itu sebuah kepastian. Orang yang menikah pun juga akan mati. Jangan terlalu
galau, ada perkara yang lebih besar dari sekedar status menikah atau tidak
menikah. Hidup itu bukan semata-mata perjuangan mendapatkan pendamping hidup.
Karena yang telah menikah pun, harus terus berjuang agar mereka diberikan
rahmat oleh Allah untuk tetap ‘berjodoh’ hingga ke surga, sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat berikut ini :
“(Yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya
bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya
dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun alaikum bima shabartum”. Maka
alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’du 23-24).
Read more at
http://pembinaanpribadi.blogspot.com/2012/08/jodohku-di-manakah-dirimu.html#Vglbd6DZh0JRbMEA.99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar