Barangkali, ini sudah menjadi garis
hidup dan “takdir” yang tidak akan pernah bisa saya hindari: selalu
berhadapan dengan orang-orang yang memiliki aneka problematika hidup
yang dilatarbelakangi oleh tidak mudahnya memahami konsep rezeki.
Banyak orang akan menyatakan dirinya
sadar bahwa rezeki adalah urusan Tuhan. Begitupun bahwa Tuhan tidak akan
pernah lupa memberi rezeki kepada seluruh makhluq-Nya. Tugas manusia
hanyalah berusaha seoptimal mungkin untuk menjemputnya.
Namun, mempertahankan pengetahuan dan
keyakinan itu dalam praktek hidup sehari-hari, nampaknya, tidak selalu
berhasil dilakukan oleh semua orang. Buktinya, disambangi oleh
orang-orang yang merasa gagal memahami misteri rezeki menjadi makanan
saya sehari-hari. Begitu seringnya saya didatangi tamu dari kelompok
ini sampai-sampai saya hafal bagaimana ekspresi wajah yang akan mereka
perlihatkan di awal pertemuan…
Suasana “sempit rezeki” pada diri mereka,
yang merasa sudah optimal mengerahkan segala kemampuan untuk
mencarinya, biasanya disebabkan oleh cara pandang ala “kaca mata” kuda
yang diterapkan: rezeki dipahami sebagai sesuatu yang dapat diwujudkan
langsung dalam bentuk rupiah atau sesuatu yang memang secara langsung
kita butuhkan.
Saat kita sedang lapar dan tidak memiliki
selembar uang pun di kantong yang bisa kita gunakan membeli nasi, maka
menemukan rongsokan barang yang bisa dijual adalah rezeki. Namun, jika
yang kita dapatkan adalah “kemampuan” untuk menanggung “masa panjang
menahan lapar” secara tidak biasa, apapun bentuknya, maka itu bukanlah
rezeki. Mendapatkan uang untuk melunasi hutang adalah rezeki. Tapi,
mendapatkan masa tenggang pembayaran hutang atau bahkan pembebasan
hutang tidak kita sebut sebagai rezeki.
Seringkali, tanpa sadar, kita menetapkan
secara sepihak dengan cara apa rezeki kita seharusnya datang. Kita
menyesalkan kenapa pemilik toko tempat kita bekerja hanya memberi gaji
Rp. 20.000,- per hari (sesuatu yang, misalnya, sudah kita ketahui
sebelum kita memutuskan bekerja dengannya) sehingga kita merasa tidak
mampu membiaya pendidikan anak kita. Padahal, dalam waktu yang
bersamaan, anak kita justru sedang “menikmati” rezeki lain: pembebasan
biaya pendidikan. Rezeki yang sedang dinikmati anak kita itu tidak kita
hargai sebagai rezeki kita sendiri. Rezeki anak tidak selalu datang
melalui tangan orang tuanya.
Untuk contoh kongkret, sebutlah namanya
Ramdan. Ia menitipkan anaknya belajar di sebuah pesantren. Tidak
sekalipun kewajibannya membayar iuran pendidikan dan iuran makan anaknya
ditunaikan karena alasan penghasilan yang minim. Padahal, pesantren itu
tetap saja menyediakan segala kebutuhan anaknya.
Saat saya tanya apakah ia memiliki barang
berharga di rumahnya, ia menjawab tidak. Namun, buru-buru ia meralat
jawabannya itu dengan menyatakan: di rumahnya tidak ada apapun selain
kulkas, televisi, dan dua handphone. Satu di tangannya dan satu lagi di
tangan istrinya. Saat saya tanya apakah istrinya menyimpan perhiasan, ia
menjawab tidak, kecuali kalung dan cincin emas yang melekat di tubuh
istrinya. Saat saya tanya pernahkah ia datang ke pesantren tempat
anaknya belajar itu untuk sekedar meminta maaf, ia menjawab tidak.
Alasannya malu. Saat saya tanya, kenapa tidak ia bayar saja seluruh
kewajibannya dengan rasa malu yang jelas-jelas masih dimilikinya itu,
pria kurus itu hanya terdiam.
Saya akhiri obrolan dengan pria itu
dengan kalimat pendek: rezeki untuk anaknya ternyata banyak. Namun,
orang tua malah melakukan sesuatu yang membuat pintu rezeki anaknya itu
tertutup.
Ada banyak contoh lain tentang
orang-orang di sekitar kita yang masih menggunakan “kaca mata kuda” itu
dalam memandang misteri rezeki.
Terhadap orang-orang yang sudah patah
itu, hanya rumus sederhana yang selalu mampu saya berikan: mintalah
kelancaran rezeki kepada Sang Pengaturnya, Allah Yang Maha Memiliki
Segala Sesuatu. Namun, jangan pernah meminta dengan cara apa Dia harus
mengatur kucuran rezeki kita. Jangan pula kita pernah meminta dalam
bentuk apa rezeki kita itu harus diwujudkan-Nya. Bekerja sajalah
seoptimal mungkin apapun juga pekerjaannya selama itu halal. Buang rasa
enggan, malu, dan rendah diri. Lalu, bukalah mata dan lihat ke
sekeliling. Alangkah lebarnya pintu rezeki yang dibentangkan-Nya untuk
kita… Semoga.
@http://pengelanasemesta.blogdetik.com/2009/07/05/misteri-rezeki/